Jumat, 08 November 2013

TUGAS EPIDEMIOLOGI GIZI POLTEKKES KEMENKES TASIKMALAYA



TIGA KELOMPOK PERMASALAHAN GIZI DI INDONESIA
Sehat merupakan kondisi optimal fisik, mental dan sosial seseorang sehingga dapat memiliki produktivitas, bukan hanya terbebas dari bibit penyakit. Kondisi sehat dapat dilihat dari dimensi produksi dan dimensi konsumsi. Dimensi produksi memandang keadaan sehat sebagai salah satu modal produksi atau prakondisi yang dibutuhkan seseorang sehingga dapat beraktivitas yang produktif.
Salah satu upaya mewujudkannya dalam industri dikembangkan konsep kesehatan dan keselamatan kerja (K3). Dimensi konsumsi menjelaskan manfaat sehat sebagai kondisi yang dibutuhkan setiap manusia untuk dinikmati sehingga perlu disyukuri. Dimensi ini melahirkan pemahaman upaya manusia untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan agar terhindar dari penyakit dan masalah kesehatan. Usaha-usaha preventif dan promotif seperti gizi, sanitasi, konseling genetika, asuransi, estetika termasuk di dalamnya.
Kebanyakan permasalahan gizi yang dihadapi di Indonesia khususnya, seringkali menyerang anak balita yang sedang mengalami tumbuh kembang yang biasanya dalam tumbuh kembangnya itu membutuhkan asupan gizi yang seimbang dan beraneka ragam yaitu asupan makanan yang dapat memberikan dampak positif pada pertumbuhan dan perkembangannya. Hal ini sering kali selalu ada faktor yang dapat menghambatnya, diantaranya faktor ekonomi yang selalu menjadi permasalahn besar dalam pemenuhan pangan untuk asupan anak-anak yang seringkali orang tua yang memiliki penghasilan yang kurang mereka kurang memperhatikan asupan makanan pada anak-anak jadi hanya seadanya dan semampunya dalam pembeliaan bahan pangan yang dibutuhkan, selain itu juga pola asuh yang kurang baik terhadap balita dan anak-anak yang sedang mengalami tumbuh kembang juga mempengaruhi, juga pendidikan yang kurang dalam memperhatikan tumbuh kembang anak juga dapat menjadi salah satu faktornya. Dan sebaliknya untuk orang tua yang berpenghsilan tinggi, namun cenderung memiliki pengetahuan yang tinggi tentang kesehatan gizi khususnya juga terkadang dalam pemberian asupan makanan memperkenalkan makanan yang siap saji dan hal itu  dapat memberikan dampak gizi lebih dan kurang sehat.
Menurut Menkes RI, dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH, saat memaparkan Arah Kebijakan Pembangunan Gizi di Indonesia, pada kegiatan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi ke X tahun 2012 di Jakarta (20/11) dari berbagai sumber data, perkembangan masalah gizi di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu :
1.      Masalah gizi yang secara public health sudah terkendali
Menyatakan bahwa ada tiga masalah gizi yang sudah dapat dikendalikan, yaitu Kekurangan Vitamin A pada anak Balita, Gangguan Akibat Kurang Iodium dan Anemia gizi pada anak usia 2-5 tahun. Penanggulangan masalah Kurang Vitamin A (KVA) pada anak Balita sudah dilaksanakan secara intensif sejak tahun 1970-an, melalui distribusi kapsul vitamin A setiap 6 bulan, dan peningkatan promosi konsumsi makanan sumber vitamin A. Dua survei terakhir tahun 2007 dan 2011 menunjukkan, secara nasional proporsi anak dengan serum retinol kurang dari 20 ug sudah di bawah batas masalah kesehatan masyarakat, artinya masalah kurang vitamin A secara nasional tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat.
Penanggulangan GAKI dilakukan sejak tahun 1994 dengan mewajibkan semua garam yang beredar harus mengandung iodium sekurangnya 30 ppm. Data status Iodium pada anak sekolah sebagai indikator gangguan akibat kurang Iodium selama 10 tahun terakhir menunjukkan hasil yang konsisten. Median Ekskresi Iodium dalam Urin (EIU) dari tiga survai terakhir berkisar antara 200-230 g/L.
Masalah gizi ketiga yang sudah bisa dikendalikan adalah anemia gizi pada anak 2-5 tahun. Prevalensi anemia pada anak mengalami penurunan, yakni 51,5% (1995) menjadi 25,0% (2006) dan 17,6% (2011).
2.      Masalah yang belum dapat diselesaikan (un-finished)
Menjelaskan bahwa masalah gizi yang belum selesai adalah masalah gizi kurang dan pendek (stunting). Pada tahun 2010 prevalensi anak stunting 35.6 %, artinya 1 diantara tiga anak kita kemungkinan besar pendek. Sementara prevalensi gizi kurang telah turun dari 31% (1989), menjadi 17.9% (2010). Dengan capaian ini target MDGs sasaran 1 yaitu menurunnya prevalensi gizi kurang menjadi 15.5% pada tahun 2015 diperkirakan dapat dicapai.
Menkes mengatakan bahwa disparitas masalah gizi kurang menurut propinsi sangat lebar. Beberapa propinsi mengalami kemajuan pesat dan prevalensinya sudah relatif rendah, tetapi beberapa propinsi lain prevalensi gizi kurang masih sangat tinggi. Hasil Riset Kesehatan Dasar 2010 mengungkapkan bahwa faktor pengetahuan, perilaku masyarakat sangat berpengaruh terhadap kejadian gizi kurang di masyarakat. Data lain menunjukkan bahwa prevalensi gizi kurang juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan.
3.      Masalah gizi yang sudah meningkat dan mengancam kesehatan masyarakat (emerging)
Sementara itu, masalah gizi yang mengancam kesehatan masyarakat (emerging) adalah gizi lebih. Hal ini merupakan masalah baru selama beberapa tahun terakhir, yang menunjukkan kenaikan. Prevalensi gizi lebih, baik pada kelompok anak-anak maupun dewasa meningkat hampir satu persen setiap tahun. Prevalensi gizi lebih pada anak-anak dan dewasa, masing-masing 14,4% (2007) dan 21,7% (2010).
Di samping itu, Menkes menyebutkan bahwa secara umum pola konsumsi pangan masih belum mencerminkan pola makan yang sesuai dengan pedoman gizi seimbang. Karakteristik pola konsumsi pangan masyarakat (Susenas, 2011), antara lain: Konsumsi kelompok minyak dan lemak, sudah diatas anjuran kecukupan; Konsumsi sayur/buah baru mencapai 63,3%; Konsumsi pangan hewani 62,1%; Konsumi kacang-kacangan 54%; Konsumsi umbi-umbian 35,8%; dan Kontribusi pangan olahan dalam pola makan sehari-hari sudah tinggi.

Pola makan pangan yang tidak seimbang merupakan salah satu faktor risiko utama penyakit degeneratif.

DAFTAR PUSTAKA