TIGA KELOMPOK PERMASALAHAN GIZI DI INDONESIA
Sehat merupakan kondisi optimal fisik, mental
dan sosial seseorang sehingga dapat memiliki produktivitas, bukan hanya
terbebas dari bibit penyakit. Kondisi sehat dapat dilihat dari dimensi produksi
dan dimensi konsumsi. Dimensi produksi memandang keadaan sehat sebagai salah
satu modal produksi atau prakondisi yang dibutuhkan seseorang sehingga dapat
beraktivitas yang produktif.
Salah satu upaya mewujudkannya dalam industri
dikembangkan konsep kesehatan dan keselamatan kerja (K3). Dimensi konsumsi
menjelaskan manfaat sehat sebagai kondisi yang dibutuhkan setiap manusia untuk
dinikmati sehingga perlu disyukuri. Dimensi ini melahirkan pemahaman upaya
manusia untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan agar terhindar dari
penyakit dan masalah kesehatan. Usaha-usaha preventif dan promotif seperti
gizi, sanitasi, konseling genetika, asuransi, estetika termasuk di dalamnya.
Kebanyakan permasalahan gizi yang dihadapi di
Indonesia khususnya, seringkali menyerang anak balita yang sedang mengalami
tumbuh kembang yang biasanya dalam tumbuh kembangnya itu membutuhkan asupan
gizi yang seimbang dan beraneka ragam yaitu asupan makanan yang dapat
memberikan dampak positif pada pertumbuhan dan perkembangannya. Hal ini sering
kali selalu ada faktor yang dapat menghambatnya, diantaranya faktor ekonomi
yang selalu menjadi permasalahn besar dalam pemenuhan pangan untuk asupan
anak-anak yang seringkali orang tua yang memiliki penghasilan yang kurang
mereka kurang memperhatikan asupan makanan pada anak-anak jadi hanya seadanya
dan semampunya dalam pembeliaan bahan pangan yang dibutuhkan, selain itu juga
pola asuh yang kurang baik terhadap balita dan anak-anak yang sedang mengalami
tumbuh kembang juga mempengaruhi, juga pendidikan yang kurang dalam
memperhatikan tumbuh kembang anak juga dapat menjadi salah satu faktornya. Dan
sebaliknya untuk orang tua yang berpenghsilan tinggi, namun cenderung memiliki
pengetahuan yang tinggi tentang kesehatan gizi khususnya juga terkadang dalam
pemberian asupan makanan memperkenalkan makanan yang siap saji dan hal itu dapat memberikan dampak gizi lebih dan kurang
sehat.
Menurut Menkes RI, dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH, saat memaparkan Arah
Kebijakan Pembangunan Gizi di Indonesia, pada kegiatan Widyakarya Nasional
Pangan dan Gizi ke X tahun 2012 di Jakarta (20/11) dari berbagai sumber data,
perkembangan masalah gizi di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu :
1.
Masalah gizi yang secara public health sudah terkendali
Menyatakan bahwa ada tiga masalah gizi yang sudah
dapat dikendalikan, yaitu Kekurangan Vitamin A pada anak Balita, Gangguan Akibat
Kurang Iodium dan Anemia gizi pada anak usia 2-5 tahun. Penanggulangan masalah
Kurang Vitamin A (KVA) pada anak Balita sudah dilaksanakan secara intensif sejak
tahun 1970-an, melalui distribusi kapsul vitamin A setiap 6 bulan, dan
peningkatan promosi konsumsi makanan sumber vitamin A. Dua survei terakhir
tahun 2007 dan 2011 menunjukkan, secara nasional proporsi anak dengan serum
retinol kurang dari 20 ug sudah di bawah batas masalah kesehatan masyarakat,
artinya masalah kurang vitamin A secara nasional tidak menjadi masalah
kesehatan masyarakat.
Penanggulangan GAKI dilakukan sejak tahun 1994 dengan
mewajibkan semua garam yang beredar harus mengandung iodium sekurangnya 30 ppm.
Data status Iodium pada anak sekolah sebagai indikator gangguan akibat kurang
Iodium selama 10 tahun terakhir menunjukkan hasil yang konsisten. Median
Ekskresi Iodium dalam Urin (EIU) dari tiga survai terakhir berkisar antara
200-230 g/L.
Masalah gizi ketiga yang sudah bisa dikendalikan
adalah anemia gizi pada anak 2-5 tahun. Prevalensi anemia pada anak mengalami
penurunan, yakni 51,5% (1995) menjadi 25,0% (2006) dan 17,6% (2011).
2.
Masalah yang belum dapat diselesaikan (un-finished)
Menjelaskan bahwa masalah gizi yang belum selesai
adalah masalah gizi kurang dan pendek (stunting). Pada tahun 2010 prevalensi
anak stunting 35.6 %, artinya 1 diantara tiga anak kita kemungkinan besar
pendek. Sementara prevalensi gizi kurang telah turun dari 31% (1989), menjadi
17.9% (2010). Dengan capaian ini target MDGs sasaran 1 yaitu menurunnya prevalensi
gizi kurang menjadi 15.5% pada tahun 2015 diperkirakan dapat dicapai.
Menkes mengatakan bahwa disparitas masalah gizi kurang
menurut propinsi sangat lebar. Beberapa propinsi mengalami kemajuan pesat dan
prevalensinya sudah relatif rendah, tetapi beberapa propinsi lain prevalensi
gizi kurang masih sangat tinggi. Hasil Riset Kesehatan Dasar 2010 mengungkapkan
bahwa faktor pengetahuan, perilaku masyarakat sangat berpengaruh terhadap
kejadian gizi kurang di masyarakat. Data lain menunjukkan bahwa prevalensi gizi
kurang juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan.
3.
Masalah gizi yang sudah meningkat dan mengancam
kesehatan masyarakat (emerging)
Sementara itu, masalah gizi yang mengancam kesehatan
masyarakat (emerging) adalah gizi lebih. Hal ini merupakan masalah baru selama
beberapa tahun terakhir, yang menunjukkan kenaikan. Prevalensi gizi lebih, baik
pada kelompok anak-anak maupun dewasa meningkat hampir satu persen setiap
tahun. Prevalensi gizi lebih pada anak-anak dan dewasa, masing-masing 14,4%
(2007) dan 21,7% (2010).
Di samping itu, Menkes menyebutkan bahwa secara umum
pola konsumsi pangan masih belum mencerminkan pola makan yang sesuai dengan
pedoman gizi seimbang. Karakteristik pola konsumsi pangan masyarakat (Susenas,
2011), antara lain: Konsumsi kelompok minyak dan lemak, sudah diatas anjuran
kecukupan; Konsumsi sayur/buah baru mencapai 63,3%; Konsumsi pangan hewani
62,1%; Konsumi kacang-kacangan 54%; Konsumsi umbi-umbian 35,8%; dan Kontribusi
pangan olahan dalam pola makan sehari-hari sudah tinggi.
Pola makan pangan yang tidak seimbang merupakan salah satu faktor risiko utama penyakit degeneratif.
Pola makan pangan yang tidak seimbang merupakan salah satu faktor risiko utama penyakit degeneratif.
DAFTAR
PUSTAKA